Tentang Cinta
Sebuah undangan,
Akan menikah:
Muhammad Ali Firdaus
bin
H. Rasyid
dengan
Nur Aulia
binti
H. Hamdi
Plash! Dia membuang undangan itu. Membosankan!, pikirnya.
* * *
30 Oktober 2007
Hari ini genap 100 hari aku sekelas denganmu. Dan aku tahu rasa itu belum hilang dari hatiku Ry. Bahkan kini semakin menjadi-jadi. Ah! Kenapa kutulis seperti ini? Seolah kau sudah tahu tentang segala rasa yang tersimpan rapat di hatiku. Bukankah aku telah menyimpannya hampir…, sekarang kau dan aku sudah kelas tiga SMA berarti sudah 6 tahun lebih.
Ya Allah, sebegini dalamkah cinta yang kurasakan pada seorang Ryan…. Aku bersyukur telah berhijab (berjilbab), paling tidak, ketika rasa itu menyeruak keluar dari hatiku, mereka hanya dapat pasrah berkerumun di balik jilbab lebarku. Sungguh aku benar-benar beruntung! Allah masih menjaga hatiku Ry.
***
7 November 2007
Jika orang-orang berpikir aku berhati suci, maka kukira mereka tak sepenuhnya benar. Sungguh hari ini aku merasa hatiku benar-benar kotor. Berkali-kali tak dapat kutahan diriku untuk tak melihatmu maaf tepatnya melirikmu. Astaghfirullah! Aku tidak dapat menjaga mata dan hatiku hari ini. Rasanya aku ingin membelah dadaku, mengambil hatiku dan mencucinya bersama kedua mataku sampai bersih kalau perlu kurendam pakai pelembut dan pengharum sekalian.
***
15 November 2007
Malam penuh bintang,
Sesaat aku bertasbih, terdiam, terpaku menikmati indahnya malam dan keharuan hatiku akan tasbih yang telah lama tak terucap setulus malam ini. Aku merasa bebas berterbangan bersama partikel-partikel debu, naik ke atas dan menari bersama bintang hingga terdengar oleh telingaku bunyi kreooot… kreottt… aku tersentak. Rupanya kursi goyang tua yang aku duduki sedari tadi terlalu cepat goyangannya hingga membuat bunyi aneh. Aku menertawakan diriku sendiri yang begitu terkejut tadi.
Kau tahu Ryan? Selain bintang, hal yang membuatku bahagia malam ini karena rasa itu sudah tidak memaksa keluar lagi dari hatiku. Alhamdulillah….
***
27 Febuari 2008
Hari ini hari ke-230 kita sekelas. Sudah lama aku tidak menulis dalam buku harian ini. Bulan-bulan sibuk! Aku harus mempersiapkan diri untuk ujian, belum lagi tugas-tugas yang menumpuk. Sekarang saja beberapa buku tebal untuk referensi tugas karya tulis tengah bertumpuk di depanku. Membuatku muak! Kuharap hari-hari seperti ini cepat terlewati.
Kau tahu Ryan? Kini rasa itu sudah benar-benar tertekan, sepenuhnya. Hanya saja tidak hilang sama sekali aku masih merasakan keberadaannya di dalam hatiku. Sebenarnya, aku juga telah membuat sebuah prinsip. Kau mau mendengarnya Ry? Oh ya! Kau tidak mungkin benar-benar mendengarnya bukan? Baiklah kutulis saja, ya. ‘Aku hanya akan mencintaimu, tak perlu memiliki…’. Kupikir kata memiliki hanya kepunyaan Sang Pencipta.
***
8 Maret 2008
Tidak kusangka kini kau telah menjadi idola, ha ha (aku menertawakan diriku sendiri, baru nyadar!). Rasanya dulu kau tak sepopuler kini. Tapi bukankah dulu kau dikatakan culun. Mungkin hanya aku yang terlihat aneh karena mencintaimu begitu dalam. Tidak aneh jika demi harta, toh kau anak orang kaya. Tapi kurasa aku menyukai sifat ramahmu. Kau terlalu baik dan bijaksana untuk ukuran anak SD. Ugh! Aku terlalu terbawa masa lalu tapi dengan ini aku telah mendapat alasan kenapa mereka juga menyukaimu. Sekarang kau bertambah tinggi, intelek…,ramah…, dan tampan….
Deg! Jantungku tiba-tiba berdegup kencang. Aku beristighfar berkali-kali. Analisaku tentang dirimu tadi telah membuka kembali segel yang telah mengunci rasa itu. Aku merasa seolah-olah partikel-partikel rasa itu berloncatan keluar dari hatiku, membuat barisan serta siap menuju dirimu ‘tuk sekedar bisikkan di telingamu ‘seorang Lia mencintaimu’. Tapi mereka terlalu lamban! Aku berhasil menangkapi mereka satu persatu dan menyegelnya kembali di hatiku.
Tapi aku memang tidak habis pikir dengan kejadian hari ini. LUCU sekali! Sekelompok cewek ribut-ribut hanya karena memperebutkan dirimu. Padahal setahuku kau belum pernah pacaran untuk saat ini. Artinya, kau bebas diidolakan siapa saja. Lalu, kenapa mesti bertengkar? Astaghfirullah! Aku bergosip nih!
***
14 Maret 2008
Aku tak mengerti dengan semua ini. Hari ini prinsipku benar-benar porak poranda. Aku menyesal kenapa aku menangis tanpa alasan? Kenapa juga kau tawarkan saputangan mahal milikmu untukku? Dan kenapa juga aku begitu bodoh langsung pergi meninggalkanmu? Serangkaian kejadian itu seakan menunjukkan kecanggunganku padamu, menunjukkan seberkas perasaan yang kini timbul tenggelam ke permukaan, memunculkan rasa ingin memiliki dirimu. Aku…. Aku menyadari sebuah prinsip tak akan berarti tanpa realisasi.
Ya Allah, mungkinkah rasa cinta ini dapat setulus dan semurni kasih seorang ibu tanpa mengharap balas? Dadaku sungguh sesak.
***
Seminggu menjelang ujian,
Hari ini aku benar-benar menderita. Jika pernah kutulis sebelumnya aku mengalami hal buruk karena perasaanku ini maka hari ini adalah yang terburuk. Aku tak dapat tenang. Belajar tidak tenang, duduk tidak tenang, berdiri tidak tenang. Padahal ujian tinggal beberapa hari lagi. Setiap berpapasan denganmu aku merasa dadaku sesak, sesak sekali. Aku ingin menangis rasanya. Belum lagi kejadian di kelas dulu (kau menawarkan saputangan) di ketahui cewek yang paling fans denganmu. Dengan kesal ditanyakannya padaku tentang perasaanku dan aku berbohong, dia lega. Aku memegangi dadaku yang kian sesak terlebih ketika aku melihat aura matamu yang menjadi aneh. Aku takut….
***
Tiga hari menjelang ujian,
Aku tenggelam dalam sujudku. Aku menangis, menyesali kelalaianku dalam menjaga hati. Aku mengemis belas kasihan Tuhan agar Dia menenangkan hatiku walau hanya sekejap tidak! Aku ingin hatiku tenang selama-lamanya. Sesaat ragaku terasa hancur lebur, sakit sekali. Tiba-tiba saja aku merasa ringan. Semua menghilang, semuanya, termasuk kegelisahanku. Air mataku semakin deras mengaliri kedua pipi tirusku tapi kini bukan atas rasa sesal tapi atas rasa syukur. Aku ingin memberikan semua cintaku hanya untuk dzat yang satu dan kuharap cintaku padamu adalah karena-Nya.
***
Acara kelulusan,
Keharuan menyelimuti sekolah, bagi yang lulus tersenyum puas namun ada pula yang meloncat-loncat kegirangan. Sedangkan yang tidak lulus hanya bisa tersenyum pahit atau tertawa keras-keras menutupi kesedihan. Hari ini pengumuman kelulusan sekaligus perpisahan. Semua saling memaafkan dan mengucap kata sampai jumpa lagi. Tapi entah kenapa aku merasa ada suatu perang dingin di antara kita Ryan. Sudahlah! Aku tidak ingin mengungkit-ungkit hal yang telah lalu.
***
27 Januari 2013,
Waktu terasa cepat berlalu. Kini aku sudah lulus S1 entah denganmu Ry, hingga saat ini aku tidak pernah bertemu denganmu lagi. Sebenarnya aku tak berniat mengisi buku harian ini lagi tapi…. Baiklah aku akan sedikit bercerita, tadi mantan seniorku di universitas, akhi Ali datang ke rumah orang tuaku. Yah! kebetulan aku lagi nggak di kos. Kupikir dia akan membahas mengenai program organisasi kepenulisan tempat kami bernaung. Tapi aku salah Ry, dia tidak datang bersama rekan-rekan penulis melainkan bersama orang tuanya. Dia… melamarku Ry. Aku bimbang dan dia memberi waktu satu minggu untuk memutuskan. Aku merasa kini prinsipku tengah dicoba lagi. Apakah aku benar-benar masih harus menunggumu? ataukah aku akan menikah dengan akhi Ali dan menyimpan rasa cintaku hanya sebagai kenangan yang indah serta menciptakan rasa cinta yang baru untuknya? Jika aku memang masih memegang prinsipku maka aku akan pilih yang kedua. Aku harus shalat istikharah!
….
Sepasang tangan kokoh itu bergetar.
***
3 Febuari 2013
Setelah pening selama seminggu, satu keputusan telah kubuat. Aku akan menikah dengan akhi Ali. Mengenai dia kau tak perlu khawatir, dia lelaki yang baik dan berilmu. Aku tahu itu dari teman-teman, keluarga, tetangganya bahkan aku sendiri yang telah memata-matainya. Mungkin akan lebih baik jika aku hanya sebatas mencintaimu tapi tak boleh memilikimu. Hanya kepada Allah cinta yang besar mesti diberikan dan mungkin pernikahan ini jalannya. Lagipula aku takut latar belakang keluarga kita yang berbeda akan menjadi rintangan.
Hari ini telah kukatakan keputusanku pada mereka. Pernikahannya akan dilaksanakan 3 bulan lagi. Mulai hari ini aku tidak akan mengisi buku harian ini lagi. Mungkin ini adalah yang terakhir dan aku ingin katakan untuk yang terakhir kali aku sangat mencintaimu dan selamat tinggal, aku akan menyimpan semuanya menjadi kenangan yang indah.
….
Ryan menutup buku harian bersampul putih polos tak bergambar di tangannya. Dia tahu persis si pemilik buku itu, seorang gadis yang hingga kini masih menempati hampir seluruh bagian hatinya. Buku itu tidak sengaja ditemukannya tadi pagi di tempat sampah, hampir dibakar.
Ryan tak pernah menyangka Lia yang sangat dikaguminya menaruh hati padanya bahkan sampai sedalam itu. Andaikan saja ia tahu dari dahulu sudah pasti muncul keberaniannya untuk menyatakan perasaannya walaupun besar kemungkinan ditolak. Karena setahu Ryan, Lia tidak mau pacaran. Tapi paling tidak Lia tahu perasaan mereka sama dan dia tidak mungkin menikah dengan orang lain seperti sekarang.
Takdir berkata lain, Lia bahkan meninggalkannya begitu saja ketika dia menawarkan saputangannya dengan sedikit keberanian di hati. Lia bahkan berbohong ketika Rara menanyakan perasaannya pada Ryan. Sejak saat itu hidupnya menjadi kacau. Dia tidak melanjutkan kuliah dan lebih memilih menjadi seorang penulis lepas. Ryan benar-benar terpukul. Beberapa jenak ia linglung. Tapi sebentar kemudian muncul suatu perasaan tak enak dalam hatinya. Diambilnya undangan pernikahan yang tadi dilemparkannya begitu saja. Undangan itu juga ditemukannya seminggu yang lalu di depan pintu mungkin dari tetangga sebelah. Ryan mencermati setiap huruf di undangan itu lalu dibandingkannya dengan tanggal terakhir buku harian Lia. Akhirnya, Ryan menemukan kenyataan bahwa itu undangan pernikahan Lia terlebih jika dilihatnya alamat yang tertera di situ. Tertanggal… hari ini, batin Ryan.
Tiba-tiba saja terlintas ide gila di kepalanya. Dengan senyum lebar diraihnya baju koko dan celana panjang dari lemari. Dengan cepat disambarnya pula peci dan kunci mobilnya. Ryan bergegas membuka pintu rumah sewaannya dan tidak lama kemudian terdengarlah deru mobil menjauhi rumah itu.
***
Tinggal beberapa blok lagi Ryan akan sampai ke rumah Lia. Di dalam pikirannya sudah terbayang rencana yang disusunnya dari tadi. Ryan akan masuk ke rumah Lia sambil membawa buku harian itu sebagai bukti cinta Lia padanya. Setelah itu dia akan mengatakan perasaannya yang sebenarnya. Lalu, Lia akan terkaget-kaget dan bimbang saat itulah ia akan merebut Lia dari seseorang yang bernama Ali itu. kalau seandainya Ali memaksa maka dia akan membawa kabur Lia….
Lamunan Ryan terhenti ketika mobilnya sudah berada di depan rumah Lia. Dia memarkir dulu mobilnya. Lalu dengan langkah-langkah ringan ia keluar dari mobilnya dan menyusuri halaman rumah Lia untuk kemudian memasuki rumah hajatan tersebut.
Begitu masuk, Ryan terpaku. Kepercayaan diri yang tadinya menggebu-gebu perlahan menguap. Dilihatnya sekali lagi mempelai laki-laki yang duduk tenang di depan penghulu. Sungguh! Penglihatannya tidak salah! Laki-laki itu tidak mungkin dilupakannya, seseorang yang telah menolongnya di tengah hujan deras, di saat tak seorang pun akan peduli pada orang lain.
Sesaat Ryan mengingat kejadian itu. Dia begitu kesal saat mobil Jaguar merahnya mogok di tengah malam ketika hujan mengguyur bumi dengan begitu lebatnya. Beberapa mobil melaluinya begitu saja seolah takut kalau-kalau ia adalah penjahat. Tapi… tiba-tiba seorang pengendara motor menghentikan motornya dan tanpa basa basi langsung menolongnya. Kejadian itu berlangsung sangat cepat. Jangankan untuk berterimakasih dan menanyakan namanya, menjawab salamnya saja Ryan tidak sempat. Bahkan, dia pernah berpikir lelaki itu malaikat. Tapi kini… haruskah Ryan merebut kebahagian sang penolong itu. Ryan tergugu. Lalu dia ganti melihat Lia, gadis itu tampak tertunduk malu. Semua mata tiba-tiba tertuju padanya. Akhirnya, Ryan memilih duduk agak di pojok.
Acara pernikahan dimulai. Ijab dan kabul sebentar lagi akan diucapkan. Hati Ryan kian gelisah. Duduknya tidak tenang. Namun, untuk berdiri dan langsung menarik tangan Lia seperti rencana semula juga tak sanggup dilakukannya. Kini, kakinya terasa lumpuh. Terkadang diharapkannya pula si mempelai pria akan memberikan Lia kepadanya seperti di film-film India. Tapi Ryan yakin Ali akan melakukan hal itu andaikan ia tahu perasaan Lia pada Ryan. Ya! Andai saja Ryan dapat membuktikan hal itu….
Sekali lagi Ryan tertohok perasaannya sendiri. Tak sepatah katapun sanggup diucapkannya, lidahnya serasa kelu dan suaranya seakan tercekat di tenggorokan. Bahkan, ia tidak berkata apapun ketika penghulu menanyakan adakah yang keberatan? Acara pernikahan pun diakhiri dengan do’a untuk kedua mempelai. Lalu dilanjutkan dengan acara bersalam-salaman. Entah kenapa barulah Ryan dapat berdiri seraya menyalami mempelai laki-laki dia berkata “selamat ya semoga bahagia, sekalian saya mau permisi pulang.”
“Sama-sama,”
“Kok langsung pulang, Ry? Acaranya kan belum selesai,” Lia keheranan.
Lia, kenapa kamu memanggilku dengan nama kecilku?, batin Ryan
“Iya akhi, acara makan-makannya kan belum,” tambah Ali.
“Saya kurang enak badan, saya permisi, Assalamualaikum” jawab Ryan dengan wajah pias.
“Waalaikumussalam…”
Setelah mendapat anggukan dari Ali dan Lia ia segera keluar menuju mobilnya. Sungguh! Hari ini kepalanya benar-benar ingin meledak.
***
Di perjalanan pulang, Ryan teringat karya sastra lama buah pena Hamka ‘Tenggelamnya Kapal Van der Wijck’, kisah mengenai wanita yang menikah dengan pria yang tidak dicintainya dan dia menderita. Apakah Lia akan bahagia…., cepat-cepat dihapuskannya pikiran buruk itu dari kepalanya. Wanita itu menikah karena harta sedangkan Lia karena baiknya akhlak dan ilmu agama Ali, bahkan Ryan sendiri mengakui kebaikan Ali.
Pikirannya menerawang, tiba-tiba saja di depannya muncul suasana kamarnya. Beberapa puntung rokok berserakan di atas meja, pakaian berhamburan di atas tempat tidur dan sebuah al-qur’an terletak rapi di rak bukunya, terlalu rapi bahkan sedikit berdebu tanda lama tak terbaca.
Sebulir air mata hangat mengaliri pipinya. Ada yang berkata ‘pantang bagi seorang laki-laki menangis’. Tapi untuk penyesalan kepada Tuhan rasanya tidak apa-apa. Dipercepatnya laju mobilnya.
Sesampainya di rumah ia langsung mengambil wudhu. Dicarinya sajadah yang lama tak digunakannya. Akhirnya, didapatnya sajadah di pojok bawah lemari pakaiannya. Ehm! Bau apek! Karena tidak memiliki yang lain, terpaksa dipakainya juga sajadah apek itu.
Dia mendirikan shalat taubat dua raka’at. Sangat khusyuk… bahkan dia tenggelam sangat lama dalam setiap sujudnya. Kini dia berniat untuk memberikan cintanya hanya kepada dzat yang satu, Allah swt.
***
By: Shela Puzi Dina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar